Dalam sebuah hubungan, sering kali kita berangkat dengan niat yang sederhana: ingin membuat pasangan merasa dicintai. Kita ingin selalu ada untuknya, ingin dia merasa aman, dan tidak pernah merasa sendirian. Aku pun dulu punya pola pikir seperti itu. Rasanya kalau aku tidak memberi support penuh, aku seperti gagal jadi pasangan yang baik.
Aku terbiasa untuk mendominasi dalam urusan emotional support. Ketika dia terlihat lelah, aku langsung mencari cara untuk menenangkan. Ketika dia sedang stres, aku berusaha jadi orang pertama yang memberikan solusi. Ketika dia terlihat kurang bersemangat, aku sibuk mencari cara agar suasana hatinya kembali cerah.
Niatnya baik, tentu saja. Tapi belakangan aku sadar, ketika energiku terlalu dominan, ada sisi lain dari hubungan yang terganggu: pasanganku jadi kehilangan ruang untuk menunjukkan cintanya sendiri.
Memberi Cinta yang Terlalu Banyak Bisa Menjadi Penghalang
Ada kalimat yang pernah aku baca: “Bahkan cinta yang terlalu penuh bisa menenggelamkan.” Waktu itu aku belum benar-benar paham maksudnya, sampai aku melihatnya terjadi di hubunganku sendiri.
Bayangkan sebuah wadah yang sudah penuh air. Kalau aku terus menuangkan, air itu akan tumpah, bahkan bisa membuat wadahnya pecah. Begitu pula dengan energi cinta dalam hubungan. Aku begitu sibuk mengisi, sampai-sampai aku tidak sadar wadah itu sudah terlalu penuh.
Pasanganku—yang seorang laki-laki—bukannya tidak ingin menunjukkan cinta. Tapi karena aku sudah lebih dulu “menyediakan segalanya”, dia jadi seperti tidak punya ruang untuk memberikan dengan caranya. Lama-lama, aku merasa kelelahan karena seperti aku yang selalu “lebih banyak memberi”, sementara dia terlihat pasif. Di sisi lain, dia juga lelah karena merasa tidak punya ruang untuk menunjukkan effort.
Saat Aku Mulai Mengurangi DominasI Energi
Ada satu titik di mana aku sengaja mencoba menahan diri. Aku tidak langsung buru-buru memberi solusi ketika dia terlihat stres. Aku tidak selalu berinisiatif menanyakan ini-itu ketika dia sedang diam. Aku tidak langsung mengisi kekosongan dalam percakapan dengan kata-kataku.
Awalnya sulit, karena aku terbiasa untuk mengisi. Tapi yang terjadi justru mengejutkan: dia mulai lebih inisiatif. Dia menanyakan kabarku duluan, dia lebih effort untuk jemput aku meskipun kondisinya sedang tidak fit, dan dia lebih sering menunjukkan perhatian kecil yang selama ini tidak sempat muncul karena aku terlalu cepat “mengambil alih”.
Dari situ aku sadar, ternyata bukan dia yang tidak peduli. Dia peduli, dia sayang, hanya saja selama ini aku tidak memberi ruang baginya untuk membuktikan itu
Kadang Bukan Karena Dia Nggak Sayang
Aku juga belajar satu hal penting: kadang bisa jadi bukan pasangan kita yang tidak sayang, tapi kita sendiri yang tidak memberi dia ruang untuk menunjukkan kasih sayangnya. Energi kita yang terlalu dominan, terlalu ingin mengisi semua celah, justru bisa terasa menekan. Lama-lama, ini melelahkan untuk dua-duanya—aku lelah karena merasa memberi terlalu banyak, dia lelah karena merasa tidak punya kesempatan untuk membalas.
Titik Refleksi: Mengapa Ada Laki-Laki yang Selingkuh Walau Sayang
Di titik ini aku mulai memahami sesuatu. Memang benar, kemungkinan penyebab perselingkuhan bukan selalu karena pasangan tidak lagi mencintai. Terkadang justru karena mereka tidak mendapatkan ruang untuk merasa berarti.
Aku jadi paham kenapa ada laki-laki yang tetap menyayangi pasangannya, tapi di saat yang sama mencari validasi dari orang lain. Di rumah atau di hubungan, bisa saja dia merasa perannya kecil, tidak dihormati, atau seolah-olah tidak dibutuhkan. Lalu ketika ada orang lain yang sekadar mendengarkan, menghargai, atau membuatnya merasa penting, muncullah ruang bagi perselingkuhan.
Tentu, selingkuh tidak pernah bisa dibenarkan. Tapi aku melihat logika di baliknya: laki-laki butuh merasa berguna dan dibutuhkan. Tanpa itu, cinta yang sebenarnya ada bisa jadi tersalurkan ke arah yang salah.
Laki-Laki Ingin Merasa Berguna
Aku percaya, khususnya bagi laki-laki, ada naluri untuk merasa berguna, untuk merasa dibutuhkan. Ketika aku terlalu dominan, aku tanpa sadar menyingkirkan kesempatan itu darinya. Bagaimana dia bisa merasa berguna kalau aku sudah selalu lebih dulu ada? Bagaimana dia bisa merasa dibutuhkan kalau aku tidak pernah memberi celah untuknya hadir?
Aku akhirnya belajar untuk menahan sedikit energiku. Bukan berarti aku jadi cuek atau menarik diri. Bukan berarti aku tidak lagi peduli. Tapi aku belajar menahan diri agar dia juga punya ruang. Ruang untuk bertanya, ruang untuk menunjukkan effort, ruang untuk hadir dengan caranya sendiri.
Contoh Kecil yang Mengubah Banyak Hal
Suatu hari pacarku bercerita tentang sesuatu, lalu aku memberikan saran. Tetapi, pacarku tidak memberikan respons yang aku inginkan, dia justru menolak saran yg aku kasih. Aku jadi kesal, karena menurutku saranku itu baik dan masuk akal, tapi kenapa dia seperti tidak mau berkembang. Berhubung aku kesal, aku jadi mengingat bahwa akhir-akhir di waktu itu selalu aku yg inisiatif untuk ngajak jalan dan merencanakan kencan. Akhirnya, aku tantrum. Aku lelah dan marah sama dia. Respons dia justru semakin dingin, semakin terdiam, dan terasa seperti “Apalagi yg bisa aku lakukan, aku udah lakukan semuanya”. Aku lelah marah, dia lelah mendengarkan kemarahanku. Lalu, aku blg “Yaudah selamat istirahat dari aku!”.. Kalian tau apa responsnya? “Makasihh sayangg”…
Awalnya aku kesel sama jawabannya, tapi setelah beberapa jam kita rehat. Aku menyadari dia beneran berterima kasih karena dikasih waktu untuk tidak menerima stimulasi emosional yang sebesar itu. Setelah itu, dia menghubungi aku di malam hari dan hubungan kita berjalan normal seperti biasanya..
Sejak itu, aku mulai tidak responsif dan memikirkan saran untuk masalah atau cerita dia. Tetapi, dia justru semakin ekspresif dalam bercerita dan mulai inisiatif kembali.
Saat itu aku sadar: ketika aku menahan diri untuk tidak selalu “mengendalikan”, dia justru bisa menunjukkan rasa sayangnya dengan lebih nyata.
Hubungan yang Seimbang
Aku belajar bahwa hubungan yang sehat bukan tentang siapa yang paling banyak memberi. Bukan juga tentang siapa yang selalu ada setiap saat. Hubungan sehat adalah tentang keseimbangan: saling memberi, saling menerima, dan saling mengisi dalam porsi yang pas.
Dengan memberi ruang, hubungan kami terasa lebih hangat. Dia punya kesempatan untuk menunjukkan cintanya, dan aku pun merasa lebih dihargai karena effort itu datang dari dirinya sendiri, bukan karena aku yang mendorong.
Sekarang aku tidak lagi berpikir bahwa aku harus selalu ada di setiap celah. Justru, aku percaya bahwa ada saat-saat di mana aku perlu mundur sedikit agar dia bisa maju. Ada saat-saat di mana aku perlu memberi ruang agar dia merasa dibutuhkan.
Penutup
Menjalani hubungan mengajarkanku bahwa cinta bukan hanya tentang memberi tanpa henti. Kadang, cinta juga berarti menahan diri, memberi ruang, dan percaya bahwa pasangan kita pun mampu mencintai dengan caranya.
Dan kalau dipikir-pikir, cinta itu seperti tarian. Ada waktunya kita melangkah maju, ada waktunya kita mundur, dan ada waktunya kita hanya berdiri memberi ruang agar pasangan bisa mengekspresikan dirinya. Dari situlah tercipta harmoni—dan itu yang membuat hubungan terasa indah.
0 Komentar